Ketika
mengelilingi daerah Tanjung Bunga di ujung Flores Timur, para soledaad
(serdadu) Portugis di bawah pimpinan M. Cabot berseru, “wooow, flora”
ketika memandang hamparan bunga flamboyant dan bunga pecah piring yang
lagi mekar dengan maraknya. Seruan inilah yang dipakai untuk menamai
Nusa Nipa dengan nama Flores (Pulau Bunga). Batu payung yang ada di
perairan Teluk Hading oleh M. Cabot di beri nama “cabo da flora” (1544).
Nusa Nipa resmi dikenal dengan nama Flores pada tahun 1936, melalui
keputusan Governoor General Belanda, Hendrick Brouwer.
Wilayah Lamaholot yang meliputi : Au’ Gatang Matang, ke Tana Kudi Lèlèn
Bala, sampai ke Solo Watan Lèma, ke Nuha Serbitè (Adonara), sampai Nuha
Kewèla (Lembata/Lomblèn), ke Tana Lepang Batang (yang kini telah
tenggelam karena peristiwa air bah : belèbo lèbo - berèrang rèrang),
Tana Muna Seli (dari perbatasan Sikka-Flotim, Hikong-Boganatar sampai ke
Pantar dan Baranusa di Kepulauan Alor). Flores Timur (wilayah
governance lama), yang dijuluki Nusa Timu Lera Gere, Bunga Warat Seni
Tawan yang terdiri dari Flores Timur Daratan, Pulau Solor, Pulau
Adonara, dan Pulau Lembata merupakan bagian dari wilayah Lamaholot yang
seyogianya luas.
Membaca kata-kata kunci dalam makna Adonara Nuha Nebon, makna Solor Nusa
Nipa, makna Lembata Nuha Kewela Lomblen dapat dipahami sebagai
pernak-pernik yang mengungkapkan hilangnya benua Atlantis yang hilang
(Chris Boro Tokan: Benua Atlantis Yang Hilang dan Litosferanya).
Adonara, Solor, dan Lembata (termasuk Flores Timur Daratan dan Kepulauan
Alor) merupakan litosfera, yaitu pecahan lapisan batu-batuan geosfera
yang membentuk kulit bumi atau kerak bumi.
Pulau Adonara, Solor, dan Lembata masing-masing masih dikenal dengan
nama kepurbakalaannya, sampai kini masih marak dalam kenangan sebagian
anak-anak negerinya. Adonara dikenal dengan sebutan Nara Nuha Nebon,
Solor dikenal dengan sebutan Solo Watan Lema dan Solor Nusa Nipa,
Lembata dengan sebutan Nuha Kewela dan Lomblen.
***
Pé koda doan usu asa, buta mete walan maratana tawan ékan géré: pada
zaman dahulu kala, (di saat) lumpur dan tanah berbencah mengering,(di
saat itulah) bumi dan segala isinya tercipta. Atau dalam saduran bebas,
“Sejak awal mula yang ada hanyalah sabda, yang menjadi asal usul segala
sesuatu yang berwujud, di saat itulah lumpur dan tanah berbencah
mengering. Maka terciptalah bumi dan alam raya serta segenap isinya.
Ungkapan di atas memacu penghayatan kita bahwa sandaran hidup, falsafah
hidup, dan pandangan hidup kita yang telah dipatok nenek moyang ialah
“koda”.
tekang di mété kepai koda
tenu di mété hukut kiring
ola doka di kelolo no’ong koda
hodang heré di kesuat no’ong kirin
Di mana ketika buta mete walan mara (mengeringnya lumpur dan tanah
berbencah) dan tana tawan ékan géré (muncul kembali bumi baru) nenek
moyang kita sudah berada dan hidup dengan selamat di wilayah Lamaholot
di atas bumi Adonara.
Karena pada khakikatnya Adonara itu berakar dan berdasarkan koda, nenek
moyang kita telah bereligare menjalin keterikatan dengan koda kiring
serta Koda Puken itu sendiri, yakni Lat Allah Rerawulan. Maka di sini
saya cantumkan salah satu bentuk religare ke-Adonara-an menurut Yohanes,
1:1-5 dan 10-11,
“Pada awal mula adalah sabda. Sabda itu ada bersama-sama dengan Allah.
Dan sabda itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia. Dan tanpa Dia tidak ada sesuatupun
yang telah jadi dari segala yang dijadikan. Dalam Dia ada hidup, dan
hidup itu adalah terang bagi manusia. Terang itu bercahaya dalam
kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya. Ia telah ada di dalam
dunia, tetapi dunia tidak mengenaliNya. Ia datang kepada orang-orang
kepunyaanNya, tetapi orang-orang kepunyaanNya itu tidak menerimaNya”.
Dengan uraian yang sangat terbatas terhadap “pe koda doan usu asa, buta
mete walan mara, tana tawan ekan gere”, religare nenek moyang Adonara
sudah tertata dengan rapi dan terus melekat dalam setiap perjumpaannya
dalam berelasi-sosial. Kutipan Injil Yohanes di atas justru merupakan
bukti otentik bahwa nenek moyang kita telah meletakkan dasar religare
(keterikatan erat dengan keilahian Allah) yang hakiki dengan menjadikan
“koda’ sebagai sentrum kehidupan, koda itu sendirib adalah tali yang
memperteguh dan mempererat ikatan nurani nenek moyang kita dengan
keilahian Tuhan, Lat Allah Rerawulan hadir sebagai penyempurna alur
pikir kita yang mau ber-Lamaholot. Maka benarlah jika dikaitkan dengan
filosofi religiositas orang Adonara menyangkut lahir, hidup, dan mati,
adalah sebagai berikut :
Koda pulo lodo tuéna na’an ana Atadik’en
kirin léma géré balika na’an bai uhunen tukan
ke mian koda pulo lodo tudaka
kirin léma géré tagana
na’ nai gan ana atadik’en tou
Sabda menjelma menjadi manusia
firman berinkarnasi jadi buah hati
maka ketika bibir telanjur berbicara
(maka) seorang anak manusia
akan terenggut nyawanya.
Adonara, Tadon Tana Geto - Nara Nuha Nebon
Kepustakaan yang sempat ditelusuri (sebagaimana tuturan Chris Boro
Tokan) adalah “Gezedenische van Inlander Nuha Nebo” oleh P. H. v. d.
Hulst, SVD (1930), Adonara disebutkan sebagai Nuha Nebon. Adonara yang
selalu disebut-sebut dalam nama timangan “Tadon Tana Geto, Nara Nuha
Nebon” adalah sebuah pulau yang timbul dan terjadi karena putus dan
terbelahnya daratan sebagai tempat kediaman “dewa” (aton, adon, tadon),
yang mengakibatkan seluruh inti-sari bumi (manusia, nara, atadiken)
kembali besatu padu, berkumpul dan menghimpunkan diri (nebon, rebon) ke
pada sumber aslinya dalam keutuhan pulau itu. Dengan demikian sebutan
“Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” menggambarkan litosfera (daratan
baru) sebagai sebuah pulau dalam jajaran provinsi kepulauan Nusa
Tenggara Timur.
Atlantis adalah sebuah benua zaman purba yang menjadi kediaman para dewa
tenggelam dan hilang. Merupakan peristiwa perulangan hilangnya Taman
Firdaus, Taman Eden akibat dosa asal yang dulu ditabur-benihkan oleh
seekor “ular” (nipa). Jika sebutan purba Flores adalah “Nusa Nipa” dan
Solor disebut sebagai “Tana Laga Doni Nusa Nipa”, tidak lain membuktikan
dahsyatnya peran ular di zaman itu untuk menjatuhkan manusia ke dalam
dosa asal, membuat manusia pertama penghuni Taman Firdaus, Taman Taman
Eden terusir dan mengenyah meninggalkan taman yang damai membahagiakan
itu, yang terbilang dalam adanya bencana air bah terbesar di zaman Nabi
Nuh dan zaman es, juga bencana lokal “belèbo lèbo berèrang rèrang” (air
bah) di Keroko Pukeng Lepang Batang.
Nama Adonara, merupakan hasil evolusi pengujaran dari nama manusia
pertama “adam” (adon, ad, at, aton, atl, atlantis) bermakna hakiki
“Putra Dewa Putra Matahari” (bdk: suku kata akhir “ra”, bermakna dewa
matahari orang Mesir). Tatanan nama Adonara dimaknai juga dalam “adonai”
– “elohim” – “yehovah” yang merupakan sebutan tiga gelar Allah.
Sedangkan Solor dimaknai sebagai “solar” – “polar” yang berarti matahari dan bulan (rera-wulan).
Adonara, Nuha Serbite
Serbite, demikianlah sebutan bagi Adonara menurut penamaan Paderi
Portulano van Fransisco Rodriques, OP, adalah Adonara yang menjadi
pijakan para leluhur pendahulu, sekaligus menjadi tempat tumpuan hidup
dan tempat merajut kehidupan sekarang ini. Adonara adalah Tanah Tadon,
Tanah Nara Nuha Nebon, yang menjadi tempat tumpah darah kita semua, anak
cucunya.
Pulau kecil, The Dreamy Island of Adonara (sebutan menurut penilaian
Penelope Graham), semulanya diberi nama Serbite oleh Paderi Portulano
van Fransisco Rodriques, OP. Tidak jelas sebab musebab apa yang
mendasari penamaan “Serbite” atas Adonara. Ternyata setelah diusut
diketahui bahwa penamaan itu berdasarkan kebiasaan orang Portugis, yaitu
bahwa dalam setiap pelayaran menuju sebuah tempat baru, orang Portugis
masa itu cendrung menamai sebuah tempat berdasarkan kata atau seruan apa
yang pertama-tama mereka dengar ketika tiba di tempat baru tersebut.
Selanjutnya Sebastian de Elcano dan Pigafetta dalam pelayarannya dengan
kapal Magelhaens ke bagian timur Indonesia dan menyinggahi kepulauan
Solor, mencatat: “Di Nusa Serbite-Adonara, Nusa Solor, dan Nusa Kewela-
Lomblen, penduduknya terbagi dalam dua etnis yang selalu bermusuhan,
yaitu “suku Pajinaran dan suku Demonaran”. Elcano dan Pigafetta
menyebutkan Adonara dalam paparannya, dan entah bermula dari pendirian
siapa dan kesepakatan mana, maka nama “Serbite” luruh dan kemudian
diunggulkan sebutan Adonara sebagai nama pulau kecil ini.
Secara geografis Adonara dilingkupi Laut Flores di sebelah utara, Selat
Solor (=Selat Lamakera) di selatan, Selat Boleng di sebelah timur, dan
dibatasi Selat Sempit Larantuka di sebelah barat. Luas wilayahnya kurang
lebih 530 km persegi. Di atas bumi Adonara yang mungil ini tersebar
kurang lebih 225 desa dan kampung yang dihuni oleh penduduk dari beragam
agama dan berbagai etnik kesukuan.
Topografi Adonara meliputi 70% kawasan bebukitan dan gunung. Tidak heran
jika pola perkampungan dan desa kebanyakan terdapat di lereng-lereng
gunung dan bukit, terlepas dari desa-desa yang berada di kawasan
dataranm lembah, dan pesisir pantai. Strategisnya perintisan sebuah desa
ditetapkan berdasarkan pertimbangan keamanan dan pengamanan diri dari
serangan musuh serta kemudahan membalas serangan musuh. Yang menjadi
alas an lain adalah kenyamanan untuk bertempat tinggal, serta kemudahan
daya dukung untuk bercocok-tanam.
Nuha Serbite adalah nama klasik Adonara, yang disebut pula dalam tatanan
“knalan” (nama sanjungan): “Tadon Adonara Lewo Liang Labaenga, Nara
Nuha Nebon Tana Wadan Somi Ama”. Ada sekelompok orang malah menyebutnya
Tadon Tana Geto, Nara Holot Bage.
Adonara adalah sebuah pulau unik. Karena di dalam pulau Adonara itu
sendiri terdapat desa Adonara, desa yang dijuluki “Lewotanah Kelibene
Bel’eng Kelek’eng Belah’ang”. Kelibene Bel’eng sehingga mampu “bote hada
hong helek na’aro goleka” (menggendong memangku, dan membopong).
Kelek’eng Belah’ang sehingga “ba’ang dongot hada gawak na’aro gawaka”
(memanggul di bahu, merangkul). Ungkapan ini bermakna bahwa pulau
Adonara, teristimewa desa Adonara merupakan pulau serta desa yang
menjelma menjadi ibu pertiwi, tanah persada yang setia mengayomi segenap
anak keturunannya serta siapa saja tanpa perbedaan.
Tentang nama Adonara didapati beberapa pendapat:
Adonara, terdiri dari dua suku kata yakni ado dan nara. Ado diambil dari
nama Ado Pehang, leluhur Adonara, sedangkan nara diterjemahkan sebagai
anak keturunan dari Ado Pehang. Yakni (1) Laba Ipe Jarang, yang kemudian
menetap di Boleng, (2) Mado Paling Tale, yang kemudian tinggal di
Dokeng, (3) Beda Geri Niha, yang kemudian tinggal di Nihaone, (4) Duli
Ledang Labi, yang kemudian tinggal di Lewoduli, (5) Kia Karabau, yang
kemudian tinggal di Kiwangona, Wokabelolong, (6) Kia Lali Tokan, yang
kemudian menghuni Lewobelek, Lamapaha, (7) Sue Buku Taran, yang
belakangan menetap di Ebo Lewojawa, antara Terong dan Lamahala. Sehingga
nama Adonara merupakan daerah hunian dari anak keturunan Ado Pehang.
Adonara terdiri dari dua suku kata yakni ado dan nara. Ado diambil dari
nama Ado Pehang sang leluhur Adonara, sebagaimana dalam pendapat
pertama, sedangkan nara diambil dari nama Ola Lakunara, seorang raja
Adonara dari kerajaan Liang Lolong. Sehingga nama Adonara adalah
perpaduan dari nama dua orang penatua pulau (nuha), yakni Ado Pehang
(Kelake Ado Pehang) dengan Ola Lakunara.
Menurut Ernst Vater, nama Adonara diberikan oleh orang Portugis (1516).
Orang Portugis yang melihat bahwa orang yang menghuni tanah nara nuha
nebon adalah manusia berwawasan luas, luwes, berbudi baik, memberikan
nama bagi nuha kita tercinta dengan sebutan Don Nara. Kata don menurut
orang Portugis berarti bangsawan, kaum yang memiliki kepantasan strata,
sedangkan nara berarti berpengetahuan, berwawasan luas, dan berbudi
baik. Sebutan Don Nara rupanya sulit dalam tata ujar orang-orang tua di
masa lalu, maka sebutan Don Nara diplesetkan ujarannya menjadi Adonara.
Paul Arndt, SVD mempublikasikan “Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder
des Solor-Archipels” (Anthropos, Band XXXIII, 1938), yang telah
di-Indonesiakan oleh Bp. Paulus Sabon Nama, dalam judul “Demon dan Paji,
Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor” (2002), telah
menggambarkan pulau Adonara sebagai pulau yang sarat dengan konflik
sosial dan perang tanding di mana-mana. Karakter manusia penghuninya
digambarkan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal menurut pandangan
Eropa. Karakter yang selalu mengutamakan perseteruan sebagaimana
diwariskan seteru dua bersaudara, Demon (Demonaran) dan Paji
(Pajinaran). Seteru antara sesama saudara yang selalu diakhiri dengan
peperangan, mengacungkan parang dan tombak. Sehingga Ernst Vatter lalu
menyebutkan “Adonara the Murdered Island”, Adonara Pulau Pembunuh.
Dalam kacamata budaya dan antropologi manusia Adonara adalah manusia
unik. Ada pertentangan yang mengakar antara orang Demonaran dengan orang
Pajinaran, dan persaingan dasar antara orang pante (watang lolong)
dengan orang gunung (kiwang, dulhi). Konflik mendasar antara Demon dan
Paji merupakan pengguguhan atas pertikaian Kain sebagai petani dengan
Abel sebagai peternak dan penggembala.
Raibnya Keaslian di Adonara
ADONARA ADALAH BUMI PERSADA, pulau tumpah darah yang menjadi pulau
keutamaan dalam lingkup etnis Lamaholot. Patut dibanggakan bahwa dalam
hal membangun diri, Adonara “Tadon Tana Geto, Nara Nuha Nebon” memiliki
citra yang luwes, yang secara perlahan tapi pasti menyesuaikan diri
dengan derap laju pembangunan dan perputaran waktu sesuai dengan
definisi istilah Lamaholot. Tetapi disini, di tanah Tadon Adonara patut
disayangkan, raibnya beberapa carik pesona “tempoe doeloe” yang mestinya
menjadi kebanggan anak-anaknya di zaman ini. Beberapa pernik budaya
masa lampau kini sirna. Mungkin disebabkan oleh kelalaian anak negerinya
yang menyepelekan nilai emas masa lampau dalam napas kepurbakalaan.
Karena terlanjur hanyut dalam arus modernisasi dan mabuk kepayang
dikejar perubahan zaman. Yang mau saya angkat sebagai bagian penyesalan
saya meratapi kehilangan ini adalah “Pesona Perkampungan Tradisional”.
Dimanakah “kenere/kenerin” (Tenaran matan = Pintu Gerbang) yang
semestinya berdiri anggun menyambut siapapun yang datang bertandang ke
desa? Dimanakah “Saboratu” (patung manusia/lelaki) sebagai wujud penjaga
gerbang? Padahal dia adalah wujud penjaga yang berperan ganda. Ia
(Saboratu) adalah simbol yang bertampang heroik mempertahankan desa tua
dari ancaman musuh-musuh yang jahil. Tetapi boleh juga bertampang ramah
dan lemah lembut menerima siapa yang datang sebagai tamu, serta santun
menghantar pergikan sang tamu yang kembali pulang atau merestui anak
desanya yang turun ke medan tempur dan medan kerja. “Nobo Merik”, yang
berwujud tancapan batu-batu pilihan sebagai tempat duduk para penatua
desa, porak poranda bahkan ada yang ikut terbenam sebagai material
perbaikan dan pembangunan jalan raya. Uh, saying! “Namang” (halaman)
sebagai tempat digelarkan berbagai atraksi dan aneka ritus, kian sempit
bahkan hilang diganti berjejalnya rumah-rumah penduduk yang tidak
berpihak pada makna historis-estetis. Pancangan kayu berlapis ijuk yang
disebut “menula” sebagai tempat memohonkan bantuan Lera Wulan Tana Ekan
untuk menolak bala dan wabah (nuung mayang) kini tiada lagi. Kini berada
nun jauh di balik rabun anak-anak bumi di zaman serba baru ini. “Bale”
dan “Sebaun” sebagai tempat pertemuan adat berganti rupa dengan
dibangunkan Bale Desa megah yang konon semakin menjauhkan warganya dari
warna solidaritas (kesetiakawanan) sosial. Yang akhirnya memupus
kemurnian nilai “hayu-baya” (perjanjian atau kesepakatan tidak tertulis)
yang berarti memudahkan nilai dan hakekat demokrasi, yang menghantar
anak dan warganya menjadi insan individualis serta menghapus nilai
gotong royong. Kemanakah “ko-ke/kokebale” sebagai tempat para penatua
desa dan para kepala suku memohon restu nenek moyang? Kemanakan kekuatan
magis “eken” serta “nubanara” yang saat ini masih ada, namun
penghayatan terhadap nilai mistisnya kabur, dihadang kilau gemerlap
modernisasi? Padahal nubanara adalah “ike-kewaat” dan “kuat-kemuha”
(kekuatan) lewotana serta segenap warganya.
Di pinggiran perkampungan tradisional semestinya kita temui “laka” dan
“urut wai”. “Laka” adalah pondok serta lingkungannya sebagai tempat
berlangsungnya pesta perburuan, yang mana di samping pondok berdirilah
eken sebagai tempat digantungkan rahang-rahang hewan hasil buruan. Kini
tidak ada lagi. “Urut wai” sebagai tempat berlangsungnya upacara ritual
memohon turunnya hujan, kini hilang dari pelataran-pelataran
perkampungan tua itu. Ini merupakan kekalahan kita, anak-anak Adonara.
Kita dikalahkan oleh arus zaman ini sehingga kita mengupetikan keunikan
ini ke liang bumi yang paling dalam. Maka semuanya raib dan punah. Di
kemudian hari, angan anak cucu kita akan menganggap bahwa beragam
keunik-indahan Adonara adalah milik negeri antah berantah di ujung
dunia. Inilah mutiara yang hilang.
Adonara telah kehilangan banyak pernik dan pesona budaya yang asli.
Termasuk di dalamnya berbagai legenda, cerita-cerita kesejarahan, dan
cerita-cerita heroik di masa kolonial. Karena semua kekayaan itu tidak
pernah terhimpun secara tertulis. Semuanya, hanyalah kisah-kisah tutur
lisan dari generasi ke generasi. Generasi kedua menceritakannya kepada
generasi ketiga dengan sedikit perubahan versi, atau melalaikan
sebagian. Maka meranalah generasi keempat dan seterusnya yang menerima
dan menceritakan kisah-kisah yang tidak sempurna.
Maka, “biarkanlah sebutir mutiara hilang, dari pada kehilangan seuntai
mutiara”. Kehilangan berbagai rona budaya asli, perlahan-lahan membuat
kita tidak memiliki apa-apa yang patut dibanggakan.
Satu saja harapan sederhana: Kiranya nama timangan “Tadon Adonara Lewo
Liang Labaenga, Nara Nuha Nebon Tana Wadan Somi Ama” dan “Tadon Tana
Geto, Nara Nuha Nebon” tetaplah semarak dalam penghayatan anak-anak
negerinya. Caranya adalah menggali kembali tradisi-tradisi orisinil yang
hilang tenggelam.
sumber : http://dklaweslamapaha.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar